• Beranda
  • Galeri
  • Podcast
  • Channel
  • Wattpad
  • Tentang
Tentang Beranda

GOES BLOG

Selama ini, aku merasa tidak pernah berguna buat keluarga. Padahal tanpa sadar, keluargaku adalah mereka yang benar-benar mencintaiku tanpa syarat, dengan segala kelebihan dan kekuranganku. Papa dan mama adalah dua orang yang selama ini sudah berkorban banyak untukku. Sebagai seorang anak laki-laki, aku merasa gagal karena sampai sekarang aku belum bisa berbuat yang terbaik untuk mereka berdua, kerjaanku hanya meyusahkan mereka.

Kali ini, aku ingin bercerita soal keluargaku, utamanya papa dan mamaku.

Papa adalah sosok yang berwibawa. Setiap ada permasalahan di keluarga besar, pendapatnya lah yang selalu ditunggu. Sangat berbanding terbalik dengan anak laki-lakinya ini, yang kalo ada permasalahan, pendapatku malah makin memperburuk keadaan. Selama ini, papa adalah orang yang tidak pernah mengungkapkan perasaaan cintanya pada keluarga, namun langsung menunjukkannya dengan perbuatan. Sebagai seorang laki-laki melankolis yang peka (cailah), aku selalu sadar akan pengorbanan tulus papa pada keluarganya. Dia sangat menyayangi kami. Selama ini, papa mengajariku banyak hal, tentang bagaimana menjadi manusia yang berguna, bagaimana bersikap yang baik pada orang lain, bagaimana menghadapi situasi yang rumit dalam kehidupan, dan masih banyak lagi. Sangat bertolak belakang denganku yang cuma bisa mengajari beliau bagaimana cara mengirim gambar lewat whatsapp.

Selain papa, mamaku adalah figur ibu yang penuh kasih sayang. Dia adalah sosok ibu penyabar berhati lembut. Karakter mama juga tidak jauh berbeda dengan papa, yang selalu menunjukkan rasa kasih sayang dengan perbuatan ketimbang perkataan. Mama tidak pernah mengeluh. Nasi goreng buatannya selalu menjadi nomor satu di lidahku.

Aku bersyukur memiliki ayah dan ibu seperti mereka. Tapi mungkin mereka menyesal kali ya punya anak seperti aku.

Ya enggak dong. Kayaknya.

Minggu lalu, aku berkesempatan untuk pulang kampung ke Jogjakarta. Memang bukan dalam rangka libur panjang sih, hanya ingin menonton show Standup Comedy Special #KOMOIDOUMENOI Pandji Pragiwaksono Jogjakarta, yang tiketnya sudah kubeli sejak dua tahun yang lalu. Aku mengajukan cuti sehari pada bosku di Bandung, sehingga aku dapat libur tiga hari (sabtu, minggu, senin). Kepulanganku ke Jogja juga dalam rangka untuk escape dari segala rutinitas di Bandung yang cukup melelahkan. Aku ingin sejenak menyepi di kampungku di Jogja, bertemu dan bercengkrama dengan teman-teman lama, dan menghabiskan waktu bersama keluarga.

Di hari terakhir libur, hari senin, aku sengaja meluangkan waktu seharian untuk keluargaku. Hari itu, mereka ingin sekali refreshing dari rutinitas mereka yang menyibukkan. Jadilah aku mengajak papa, mama, dan mbak ayu, kakakku, untuk seharian berwisata ke Jogjakarta sebelum aku pulang kembali ke Bandung. Aku mengajak mereka berwisata ke kebun binatang Gembira Loka di Jogjakarta.  Orangtuaku ingin melihat kebun binatang tersebut yang katanya sudah diperbaharui. 

Abis itu, aku mengajak mereka makan siang di rumah makan SS di kota Jogjakarta. Orangtuaku belum pernah makan di sana. Mereka tampak ragu pada awalnya, namun setelah pesanan datang, mereka makan dengan sangat lahap. Papa sampai minta tambahan nasi saking enaknya. 

Setelah makan siang, kami memutuskan untuk jalan-jalan ke pusat kota Jogjakarta, di alun-alun Jogjakarta, sekalian aku ingin melihat Masjid Gede Kauman yang berada di sekitar alun-alun utara Jogjakarta.

Langit mulai meredup, matahari mulai turun, menunjukkan sore telah tiba, dan sebentar lagi aku harus ke stasiun karena keretaku akan berangkat pukul 19.30 WIB.

Hari yang cukup panjang, namun sangat puas karena aku bisa berwisata seharian bersama keluargaku.


Libur telah usai, aku pulang kembali ke Bandung.

Suatu pagi, saat aku berada di kantorku di Bandung, sebuah notifikasi chat masuk ke handphoneku, sebuah pesan di whatsapp grup keluarga. Aku melihat ke layar handphone, papa mengirimi sebuah pesan. Pas kubuka ternyata isinya adalah ungkapan rasa bahagianya karena kemarin aku mengajak keluargaku jalan-jalan seharian di Jogjakarta. 

Aku terdiam sejenak. 


Tidak pernah kusangka papa akan mengirimi chat seperti itu. Aku merasa sangat bahagia karena bisa membahagiakan orang yang selama ini tidak pernah kubahagiakan, padahal mereka selalu berusaha mati-matian untuk membuat aku bahagia. 

Aku merasa apa yang kuberikan pada mereka masih sangat sederhana, bahkan belum ada apa-apanya, hanya mengajak mereka ke kebun binatang, ke alun-alun Jogjakarta, dan makan di rumah makan yang belum pernah mereka datangi di kota. Tapi, rasa puas atas kebahagiaan yang mereka rasakan tidak pernah bisa ternilai dengan apapun. 

Paling tidak, selama hidup ini aku pernah melakukan perbuatan yang berguna dan kepada orang-orang yang tepat. Ternyata tidak perlu hal yang megah dan spektakuler untuk bisa membuat bangga papa dan mama. Hanya hal sederhana seperti menyempatkan waktu bercanda dan bercerita bersama orang yang selama ini ada untukku, membuat mereka dan tentunya diriku bahagia. 

Banyak nasehat berseliweran di dunia maya. Nasehatnya begini, "Kalian sering ngomong 'aku sayang kamu' ke orang yang bahkan belum menjadi pasangan hidupmu. Tapi pernahkah sekali saja kalian mengungkapkan rasa sayang kepada ayah ibumu yang selama ini berjuang untukmu?"

Seumur hidupku, baru kali inilah aku berani untuk mengungkapkan rasa sayang kepada mereka, dua malaikat tanpa sayap yang menemani proses perjuangan hidupku, yang selalu mendoakanku sehingga aku kuat menghadapi kerasnya dunia. 

Semoga suatu saat nanti aku bisa lebih membahagiakan mereka, agar aku juga bisa merasa lebih bahagia. InsyaAllah.



Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Teruntuk hati, malam ini aku ingin berdialog denganmu.

Pertama-tama, aku ingin berterima kasih padamu.

Terima kasih, karena kau telah kuat dan bertahan sampai detik ini. Kita telah melewati lembar demi lembar catatan kehidupan yang tak mudah. Aku tau kau sudah cukup lelah, terluka, dan memendam luka itu sedalam mungkin. Tapi aku yakin kau tau apa yang harus kau lakukan. 

Aku tau kau membenci kenyataan, tapi itu yang harus kita hadapi saat ini.

Terima kasih sudah menjadi pengarahku. Kau penuntun setiap langkahku. Kau adalah teman terbaikku, yang sering aku acuhkan. Maaf jika terkadang aku tidak mendengarkan katamu, karena terbuai oleh nafsuku sendiri. Tapi kau tetap setia menemaniku dan membuatku kembali ke jalan yang seharusnya.

Semesta kadang sebercanda itu, membuat kita sakit dan menangis. Mereka pun seakan tidak merasa bersalah setelah melakukan itu. Saat kau tersakiti, seluruh tubuhku juga merasakan hal yang sama. Tapi tenanglah kawan, aku selalu ada di sini dan akan menjadi topengmu sehingga dunia tidak akan tau apa yang sedang kita rasakan.

Kepada hati,

Apa yang kita inginkan tak selalu bisa kita dapatkan. Dalam hidup ini, ada yang bisa kita kendalikan dan ada yang tidak. Aku ingin agar kau selalu mengingatkanku akan hal itu. Apapun yang aku akan lakukan, aku ingin agar kau selalu membersamaiku, menuntunku ke arah yang semestinya. Apabila ada hal yang seharusnya tidak aku lakukan, perkataan yang tidak seharusnya aku katakan, dan perasaaan yang seharusnya tidak aku rasakan, aku ingin agar kau membantuku menghentikannya. Jujur, aku sudah muak dengan semuanya. Aku bosan setiap kali aku memulai hari, aku selalu gelisah, takut dengan apa yang akan terjadi, memikirkan semua itu sampai capek. Sebagai topengmu, aku merasa dituntut untuk selalu menebarkan keceriaan, menyembunyikanmu dalam kensunyian, entah kondisimu baik ataukah buruk di hari itu. Intinya dunia hanya ingin semuanya baik-baik saja, walau kadang mereka bisa membuat kita hancur seketika.

Kini aku merasa asing di tengah keramaian. Aku merasa saat ini, dimanapun berada, yang selalu menjadi temanku hanyalah kau. Dengan siapapun aku berinteraksi, aku selalu saja merasa kosong, sepertinya mereka bukanlah orang yang biasanya kutemui.

Hanya kau yang tau seluk beluk diriku yang sebenarnya. Aku selalu hafal, setiap kali emosiku memuncak, di saat aku tempramental, dan ketika aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri, kau selalu mencoba untuk menasihatiku agar aku tidak kebablasan, membuat semuanya berantakan. Setelah keadaan berantakan pun, kau tak jarang membujukku agar kembali waras, meyakinkanku bahwa semua akan kembali baik-baik saja.

Kepada hati,
Aku ingin bertanya sesuatu,

Mengapa kau selalu saja membuatku gelisah? Kau selalu bisa mengarahkanku, tapi aku tak bisa mengarahkanmu. Buktinya saja, aku tak pernah tau kepada siapa kau akan melabuhkan dirimu. Itu terjadi begitu saja. Saat kau mencintai seseorang, kenapa aku yang harus menanggung semuanya? Kau tak segan menyuruh otakku bekerja untuk selalu memikirkannya. Tetapi aku sadar, ada Tuhan yang menguasaimu. Hanya Dia yang bisa membuatmu mencintai atau membenci seseorang. Tugasku hanyalah mengendalikan setiap situasinya, agar tidak ada yang semakin kacau karena apa yang sedang kau rasakan saat ini.

Saat kau mencintai seseorang, selalu aku yang harus mengendalikan semuanya, memendam dirimu dalam-dalam hingga semuanya terasa biasa saja. Setiap aku bertemu dengannya, kau seringkali bereaksi berlebihan sehingga aku harus mengontrol diriku untuk tetap bersikap wajar. Kau harus tau, itu tidaklah mudah. 

Bagaimanapun juga, di sini hanya ada kita berdua, kau dan aku. Kau bisa tau semuanya tentang diriku, tentang kesendirianku, tentang pendapatku terhadap sesuatu, tentang apa yang bisa membuatku bahagia dan sedih. 

Aku mohon kepadamu, tolong sudahi semuanya. Berhentilah untuk mencintai seseorang yang tidak pantas untukku, karena itu hanya akan membuang-buang waktu. Buang rasa itu jauh-jauh, lupakanlah dia. Kau membuatku hingga sebegini bodohnya untuk selalu memikirkannya setiap saat. Apa yang kau harapkan? Kau berharap sewaktu-waktu hatinya juga luluh akan keberadaanku ini? Kau berharap dia akan sadar dan membalasmu? Tidak, hati, itu tidak mungkin terjadi. Keajaiban tidak untuk semua orang. Mungkin kita bagian dari yang tidak mendapatkan keajaiban tersebut.

Kepada hati, kuharap kau mempersiapkan diri,
Karena kau akan patah, suatu saat nanti.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Aku sedang berinternet ria di depan laboratorium komputer, ketika Robby, temanku, datang dan mengganggu fokusku. Siang itu, guru yang seharusnya mengajar di kelasku sedang berhalangan hadir. Berita baik ini langsung kusambut dengan memutuskan untuk nongkrong sambil menikmati koneksi internet sekolah yang lancar. Terlihat teman-teman yang lain sibuk dengan laptop masing-masing. Suasana begitu damai.

“Gus?,” kata Robby sambil menepuk pundakku.

Aku yang pada saat itu sedang fokus dengan laptop hanya menjawab acuh. “Apa, bi?”

“Kita ikut lomba, yuk?”

“Lomba apa?” sahutku, sambil tetap mengarahkan pandangan ke layar monitor.

“Atraksi Kimia,” jawab Robby.  

Sejujurnya, aku adalah tipikal orang yang pesimis. Setiap ada lomba apapun itu, aku pasti mengurungkan niat untuk mengikuti perlombaan tersebut. Mungkin karena aku udah bosan, setiap kali mengikuti lomba pasti ujung-ujungnya gagal. Ditambah lagi, aku merasa diriku tidak memiliki kelebihan di bidang apapun, jadi aku yakin kalo ikut lomba pasti gak akan menang. Ya, boleh dibilang kalo aku sudah bosan untuk kecewa di akhir. Makanya, untuk mengikuti lomba-lomba yang diadakan di SMA, aku udah nyerah duluan. Dan lagi, kimia. Kimia adalah salah satu mata pelajaran yang tidak terlalu kusukai, aku juga gak jago di pelajaran tersebut. Hal yang aku bisa dari kimia paling cuma nuangin air putih ke adem sari pas lagi panas dalam.

Aku menatap Robby yang masih berdiri, mencoba untuk meyakinkan dia kalo aku mengurungkan diri mengikuti lomba apapun. 

“Gak, ah, bi. Aku ga berbakat ikut lomba,” kataku, mencoba meyakinkan Robby. “Lagian kenapa kau milih aku? Teman-teman yang lebih pinter kan banyak.”

“Gini,” Robby merangkulku dan memasang muka serius. “Kau udah pernah bikin prestasi di sekolah belum?”

Aku menggelengkan kepala. “Belum.”

“Nah, aku juga sama, nih.” kata Robby. “Kau mau gak, nama kau nanti ada di deretan prestasi BT (Buku Tahunan)?”

“Hmm..... pengennya gitu sih, soalnya aku belum bikin prestasi apapun, kan.” Aku berkata bingung. “Tapi–” 

“Udahlah, kau mau ikut atau nggak nih? Kalo nggak aku ajak yang lain aja nih.”

Ada hening yang cukup panjang sebelum akhirnya aku mengatakan, “Oke deh, aku ikut.”

Karena diiming-imingi oleh namaku yang akan tercantum di daftar prestasi Buku Tahunan SMA, dengan gampangnya aku menyetujui ajakan Robby untuk ikut lomba atraksi kimia tersebut. Biasanya, aku gak pernah mau kalo disuruh untuk ikut lomba kayak beginian. Tapi kali ini beda. aku berpikir kalo suatu saat nanti namaku terpampang di salah satu halaman buku tahunan sepertinya keren juga. Alasannya, biar aku bisa bangga dan bilang ke cucuku kelak, “Nih, kakek dulu pernah ikut lomba atraksi kimia di SMA dan jadi juara dong!”

“Sebenarnya sih, ada banyak perlombaan yang diadakan oleh UNRI (Universitas Riau) waktu itu, kayak cerdas cermat, tes tertulis, atraksi kimia, pantun kimia, dan masih banyak lagi. Aku dan Robby memilih untuk mengikuti lomba atraksi kimia. Selain gak terlalu menguras otak buat berpikir, lombanya juga cukup seru dan menarik untuk diikuti.

"Ya udah, nanti kita pikir sama-sama apa yang mau kita tampilkan.” kata Robby.

Dia lalu pergi meninggalkanku sendirian. Ketika bel pelajaran selanjutnya berbunyi, aku menuju kelas.

Berhari-hari aku dan Robby mencari bahan untuk penampilan atraksi kimia kami nanti, dengan browsing internet dan nanya ke temen gimana sistematika lombanya. Kebetulan, ada temen kami yang pernah ikut lomba atraksi kimia tahun lalu dan mereka mendapat juara dua. Siapa tahu, tahun ini aku dan Robby bisa melanjutkan gelar juara mereka.

Rupanya ada beberapa ketentuan dalam perlombaan itu, salah satunya gak boleh menggunakan bahan kimia yang berbahaya, dan kalo bisa gak usah pake bahan kimia, cukup bahan sehari-hari dan mudah ditemui aja asal bisa dipake. Untung aku sempat baca peraturan ini, kalo enggak, bisa jadi aku menggunakan nuklir sebagai salah satu bahan atraksi kimia kami nanti.

Halangan  pun mulai berdatangan. Pertama-tama, halangannya tentu saja datang dari atraksi apa yang pengen aku dan Robby bawakan. Aku bingung, Robby bingung, ditengah-tengahnya Pulau Jawa (lho?). Kami sama-sama bingung tentang apa yang mau kami atraksikan.

Akhirnya, setelah mencari dari berbagai sumber, beberapa atraksi kimia pun kami pilih dan kami coba untuk melakukan latihan kecil-kecilan di laboratorium kimia sambil dibimbing oleh Bu Nur, guru Kimia kami. Aku dan Robby bersepakat untuk melakukan beberapa eksperimen kimia yang menurut kami menarik, kayak membuat lilin bisa menyerap air, kembang api yang bisa hidup di dalam air, etanol membeku seketika, dan percobaan asap yang keluar dari aluminium foil. Kedengarannya emang keren, tapi pelaksanaannya gak sekeren itu.

Setiap hari selama seminggu, aku dan Robby harus merelakan jam pelajaran di kelas untuk nongkrong di laboratorium kimia setelah selesai Try Out. Kebetulan, waktu itu kami sedang mengadakan Try Out selama 4 hari.

Untuk atraksi pertama kami, Robby menggunakan kembang api dan korek yang dikirim orangtuanya yang ada di Pekanbaru. Jumlah kembang api yang dibeli pada saat itu lumayan banyak, begitu juga dengan jumlah koreknya, bisa buat bikin toko kembang api di sekolah.

Kami pun mencoba untuk menghidupkan kembang api di dalam air. Mula-mula, Robby menutup kembang api dengan plastik dan direkatkan dengan label perekat. Seperti biasa, aku hanya menatap tangannya yang lincah dalam memainkan plastik dan kembang api tersebut tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Nah, gus, bakar kembang apinya sekarang.” kata Robby sambil menunjukkan kembang api yang sudah ditutupinya dengan plastik.

Aku menyalakan korek, lalu kuarahkan ke kembang apinya. Kembang api pun hidup dan Robby langsung mencelupkannya ke dalam air. Pada percobaan pertama emang gak berhasil, tapi setelah dicoba beberapa kali, barulah kembang api bisa hidup menyala di dalam air. Aku, yang gak tau apa-apa pada saat itu cuma bisa bilang, “Keren!”

“Oke, sekarang udah beres, nih.”

“Cuma satu?”

“Ya, enggaklah, bego.” kata dia, sewot. “Kita cari yang lain.”

Aku mengangguk. “Terus? Kembang api sisanya kita apain?”

“Udah, kita biarin aja disini dulu.”

Aku pun meletakkan kembang api di dalam laboratorium kimia. Latihan demi latihan kami coba lakukan agar semuanya berjalan sempurna ketika lomba nanti. Ada beberapa eksperimen lain yang kami lakukan pada saat itu, kayak merubah warna dengan asam dan basa, dan membekukan air dengan garam (Konsep Koligatif Larutan). Tapi, kami memutuskan untuk menghapusnya dari set karena setelah kami coba berulang-ulang, kedua eksperimen tersebut tak kunjung membuahkan hasil. Kami pun pulang ketika apel siang selesai.

Besoknya, aku dan Robby datang kembali ke laboratorium kimia. Niatnya sih, pengen mencoba lagi atraksi menghidupkan kembang api di dalam air. Tapi plastik berisi kembang api bejibun berikut koreknya gak ada di dalam laboratorium kimia.

“Bi, kembang apinya mana?”

Robby mengangkat bahu. “Entah. Emang kau taruh di mana kemaren?”

“Gak tau. Kan ada di meja kemaren.”

“Iya, yah. Coba tanya ke Bu Nur.”

Robby pun bertanya kepada Bu Nur dimanakah gerangan kembang api itu berada. Bu Nur bilang kalo kembang apinya ada di luar, dan diletakkan di belakang laboratorium. Robby pun menuju ke lokasi yang disebutkan Bu Nur. Ketika dia kembali ke laboratorium, dia bilang, “Kok cuma koreknya aja yang ada di plastik ini? Kembang apinya kemana, bu?”

“Gak tau, kemaren masih ada kembang apinya di sini.” kata Bu Nur.

Kami panik, kembang apinya hilang!. Hipotesa pertama dari Robby mungkin kembang api itu diambil sama anak-anak sekitar. Hipotesaku : Duh, gimana nih?.

Halangan lain, ketika kami ingin menggunakan gula untuk atraksi kimia selanjutnya (yang tidak masuk ke set), yaitu membuat gula dan abu rokok sebagai lilin, kami kehabisan gula. Karena gak ada uang, aku dan Robby terpaksa ngutang gula ke kantin. Muka melasku yang memang sudah setelan pabrik cukup membuat simpatik ibu kantin yang pada saat itu akhirnya mengabulkan permintaan kami untuk utang gula.

Di hari terakhir sebelum perlombaan, kami melakukan latihan eksperimen membekukan etanol dan kalsium asetat menjadi gel. Saat gel itu dibakar di cawan penguap, apinya hidup, lalu selang beberapa detik langsung aku matikan. Setelah dimatikan, dengan sigap kuambil cawan penguap tersebut, terus aku teriak, “AH! PANASS BANGET!” 

Dengan muka jumawa, Robby bilang, “Bego kau. Ngapain cawan yang masih panas kau pegang pake tangan, goblok.”

Alih-alih jari tengah kiriku jadi korbannya. Jariku mengalami luka bakar yang lumayan parah. Bu Atik, yang ketika itu juga membimbing kami, menyuruhku untuk mengambil lidah buaya di rumahnya. Aku lalu mengambil setangkai lidah buaya dan mengoleskannya ke bagian yang mengalami luka bakar. Rasanya perih banget. Sama kayak melihat dia update instastory sampai titik-titik, namun chat kita dari dua minggu yang lalu masih belum juga dibalas. Eh, maaf, jadi curcol.

Ketika hari perlombaan tiba, kami menuju ke tempat perlombaan yang berlokasi di sebelah Balai Bahasa Universitas Riau. Hari itu cukup ramai, terlihat anak-anak dari sekolah lain yang datang ke lokasi. Aku dan Robby melakukan konfirmasi peserta. Kami berada di urutan ke sebelas dari sebelas peserta. Itu artinya, aku dan Robby akan tampil terakhir. Karena penampilan kami masih lama, aku dan Robby memutuskan untuk melakukan latihan kecil-kecilan di masjid terdekat sebelum penampilan kami nanti.

Setibanya di masjid, aku bersepakat dengan Robby untuk melakukan latihan atraksi yang resiko gagalnya paling berat, yaitu menghidupkan kembang api di dalam air. Dan, beneran, pada percobaan pertama, apinya langsung mati. Pada percobaan selanjutnya, apinya juga mati. Pada percobaan terakhir, aku yang mau mati.

“Duh, gimana nih, bi? Apinya mati.” kataku, panik.

Sambil menutup kembang api ketujuh dengan plastik, Robby bilang, “Santai aja, nanti juga bisa kok.”

Kami mencoba terus hingga kembang api yang tersisa tinggal dua batang. Setelah 2 jam, aku dan Robby akhirnya menyerah.

“Bi, kembang apinya tinggal 2 nih.” kataku, setengah panik.

“Ya udah, aku beli label perekatnya dulu.” jawab Robby, yakin. “Coba kau cek ke lokasinya udah urutan ke berapa.”

“Oke deh.”

Aku dan Robby berjalan beriringan, hingga di persimpangan, Robby berhenti.

“Kenapa, bi?” tanyaku.

“Hmm... ada uang gak, gus?”

Gedubrak.

Setelah memberikan uang lima puluh ribuan ke Robby, aku pun berjalan kaki menuju lokasi perlombaan. Di sana rupanya masih berlangsung penampilan atraksi kimia dari perwakilan SMA aku juga, tapi yang lagi tampil adalah adik kelasku namanya Elvin dan Feby. Mereka tampil sambil berbahasa ocu, bahasa daerah setempat. Aku gak tau pasti apa yang mereka tampilkan karena aku hanya menonton dari luar, tapi yang jelas penonton ketawa dengan penampilan mereka, mungkin karena seru. Aku malah semakin deg-degan karena kembang api percobaan kami belum juga bisa hidup di dalam air.

Aku berjalan kembali lagi ke masjid. Di persimpangan, Robby berjalan kearahku sambil menenteng kertas label dan sampul plastik. Kami pun berjalan beriringan kembali ke masjid. 

“Bi, kau yakin kita bakal berhasil?” kata aku dengan muka menyerah.

“Udah, kau yakin aja kita bakal berhasil nanti,” kata Robby meyakinkan aku. “Percaya aja sama aku.”

Robby dan aku mencoba lagi menghidupkan kembang apinya dengan plastik dan perekat yang baru dibeli Robby. Emang sih, kembang api akhirnya bisa hidup di dalam air, tapi sayangnya cuma sebentar. Bagi aku, itu tetap berarti tidak terjadi apa-apa. Aku panik setengah mati, kembang apinya tinggal satu pula. Robby akhirnya memutuskan untuk menggunakan kembang api terakhir dalam penampilan kami nanti. 

“Udah, kita pake yang ini apapun yang terjadi nanti.” Robby menunjukkan kembang api terakhir yang dia pegang di tangan kanannya.

“Iya deh,” kata aku.

Mendekati waktu tampil, aku dan Robby lalu berjalan menuju ke tempat perlombaan. Sekarang udah di urutan ke sembilan yaitu dari SMA Binsus Dumai. Penonton dengan khusyuk menyaksikan penampilan mereka. Aku mencoba untuk santai dan tidak tegang. Penampilan mereka ditutup dengan tepuk tangan meriah dari penonton. Selanjutnya, urutan ke sepuluh yang aku lupa dari SMA mana, tapi yang jelas mereka cewek semua. Kontur mukanya tidak terlihat menarik. Tak hanya menampilkan atraksi, tapi mereka juga menampilkan kebolehan lain yaitu goyang dumang. Ujung-ujungnya, atraksi yang mereka bawain rupanya cuma satu, cuma heboh di goyang dumang doang. Kalo gitu aku juga bisa, pikirku.  

Dan tibalah di urutan terakhir, ketika nama kami dipanggil oleh pembawa acaranya, aku dan Robby berjalan menuju ke depan panggung dengan mengenakan jas labor, lalu meletakkan kotak yang berisi barang-barang di atas meja yang disediakan. Robby pun membuka pertunjukan dengan mengucapkan, “Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Aku hanya bengong ngeliatin penonton.

Dan, disinilah bencana itu dimulai teman-teman.

Atraksi pertama kami dibuka dengan atraksi etanol dan kalsium asetat yang menjadi gel. Ketika aku menuangkan etanol ke dalam gelas kimia, gel rupanya tidak terbentuk sempurna, masih ada beberapa bagian yang belum menjadi gel. Aku bingung, tapi akhirnya aku mencoba menunjukkan gel yang jadi ke hadapan penonton. Mereka mulai menyimak dengan serius.

"Hadirin sekalian, setelah ini saya akan membakar gel ini dan mari kita liat apa yang akan terjadi," aku mencoba mencairkan situasi ala penjual obat pinggir jalan.

Ketika kubakar gel-nya, apinya malah gak mau mati. Aku coba meniupnya, apinya malah makin gede. Panik, aku langsung mengangkat jas labor sebelah kanan, lalu dengan cepat kututup cawan penguap yang apinya masih menyala.

“Eh, itu kan jas labor?” kata salah satu dari penonton ke aku. “Kok dipake buat matiin apinya?”

“Oh, iya. Sorry, kesalahan teknis,” kataku, mencoba untuk santai. Padahal jantungku hampir copot. Jas labor aku naikkan kembali.

Aku sama Robby terlihat bego waktu itu. Tapi aku yang lebih terlihat bego, mungkin karena mukaku cukup mendukung kali ya. Penonton yang melihat kami mulai panik, takut terjadi apa-apa dengan panggung ini.

“Udah, itu diletakkan di bawah aja,” kata salah satu juri. Robby pun menaruh cawan penguap yang apinya belum mati ke bawah meja. 

Juri yang melihat kami waktu itu mulai memperlihatkan raut muka gak yakin. Aku yang berdiri di depan waktu itu sangat gugup. Suasana mendadak tegang. Rasanya ingin sekali aku langsung melengos pergi meninggalkan ruangan itu.

Bukannya mati, api yang tadi kami hidupkan di cawan penguap malah menjalar ke mana-mana. Di lantai, di meja, bahkan tangan Robby sempat terkena percikan api dari cawan petri yang etanolnya masih ada.

Seorang bapak tua berjenggot maju ke depan, mencoba untuk memadamkan api. Dia mengambil cawan petri yang ada etanolnya, lalu...BRAK! cawan petrinya pecah. Mungkin karena terlalu panas, tangan si bapak nggak kuat, etanol nya tumpah, apinya malah makin gede di lantai.

“Eh, itu deket kakinya!” kata salah seorang penonton cewek.

Robby melihat ke bawah, takut terjadi apa-apa. Api yang ada di lantai menjalar sampai ke dekat kakinya Robby. Dia berusaha mematikan api dengan kakinya. Pembawa acara pun akhirnya maju ke depan dan memberikan kami lap basah untuk mematikan api. Sumpah, waktu itu aku malu banget, apalagi di sana banyak cewek yang ngeliatin aku. Hampir saja aku dan Robby membakar panggung ini.

Tapi, kebodohan belum selesai sampai disitu. Saat aku dan Robby ingin melakukan atraksi selanjutnya, kami baru sadar kalo kami lupa bawa air. Padahal, air di atraksi kedua kami ini sangat penting. 

Terpaksa, tanpa malu-malu, Robby meminta air kepada panitia. Dan panitia memberikan aqua sebanyak 2 gelas. Atraksi dilanjutkan dengan membuat lilin bisa menyerap air. Ketika kami ingin menghidupkan api dengan korek gas, angin mengganggu sehingga apinya cepat mati. Robby mencoba berulang-ulang kali hingga salah satu juri mulai sebel dan berkomentar.

“Udah, pake 2 batang korek aja coba!” kata seorang juri kepada kami dengan tatapan tajam nan sinis.

“I-iya, pak. Santai.” kata aku.

Kami pun mengikuti saran si bapak juri, dan hasilnya : kaga ngaruh.

Bala bantuan akhirnya datang dari salah seorang peserta lomba dari sekolah lain yang menjadi penonton ketika kami tampil. Orangnya agak hitam, dengan rambut yang keriting dan bertubuh pendek. Dia maju dan memberikan kami korek batangan. Bisa dibayangkan betapa malunya aku waktu itu. Penampilan kami saat itu terasa seperti latihan, bahkan lebih buruk.

Penampilan kami akhirnya selesai. Kami langsung pulang kembali ke masjid dan merenungi apa yang baru saja terjadi. Di sepanjang perjalanan, raut muka murung terpancar jelas dari Robby yang sepertinya kesal karena usaha kami kali ini hancur berantakan. Aku mencoba memecahkan keheningan.

“Bi, kau marah ya?

Robby menggeleng. “Nggak kok.”

“Seriusan?”

“Iya, serius.”

“Jadi, kau nggak marah kan sama aku?” tanyaku.

“Ya, enggaklah. Buat apa aku marah sama kau.” kata dia.

"Berarti kita tetap bersama, kan, ya?"

Entah kenapa percakapan kami barusan terdengar seperti percakapan dua orang homo.

“Besok kau mau lihat pengumuman hasil lombanya, gak?”

“Nggak mau.”

Bersamaan dengan itu, awan masih tampak cerah, bergerak perlahan di langit siang menuju senja, seolah tidak terjadi apa-apa hari itu. Kami tetap berjalan menuju masjid, menunggu bis yang akan menjemput. Dan aku,  tentu saja sudah putus harapan.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Selama di SMP, aku adalah seorang jomblo yang hina. Dan sejujurnya, aku sebel dengan kehidupanku saat itu. Penampilanku waktu di SMP bisa dibilang culun abis, dengan badan kurus, rambut yang jarang disisir, celana pendek biru yang kedodoran, serta iler yang belepotan kemana-mana. Aku yakin, dengan penampilan seperti itu, gak ada satu cewek pun yang mau denganku. Jangankan suka, cuma bilang “hai” sama dia aja mungkin aku udah ditampol pake bakiak, atau leherku diikat pake tali jemuran, atau yang paling ekstrim, dia langsung memutuskan untuk pindah sekolah ke luar negeri.

Gak enaknya jadi jomblo adalah hampir setiap hari aku diledekin sama temenku yang udah punya pacar. Mulai dari nyamperin terus bilang, “Eh, gus, pasangan kau mana? Truk aja gandengan loh,” sampe ledekan yang gak nyambung kayak, “Gus, kau udah mandi belom sih? Kok masih jomblo?”

Aku yang mendengarnya cuma bisa pasrah.

Walaupun begitu, hidup sebagai jomblo juga ada enaknya. Aku bisa lebih bebas menikmati hidup, berteman dengan siapapun, jalan sama siapapun yang aku mau. Selain itu, yang mau cemburu sama aku gak ada, yang mau marah sama aku gak ada, dan yang mau sama aku juga gak ada.

Karena hidupku udah tertekan dengan ejekan kejombloan di sana-sini, aku pun bertekad untuk merubah nasib, dari seorang jomblo, menjadi seorang playboy.

Aku lalu mulai berusaha mendapatkan pasangan hidup. Saat itu, aku percaya kalo tampang bukanlah segalanya, temen-temenku yang lain juga banyak yang mukanya jelek, tapi punya pacar cakep. Jadi aku tetap pede sebagai seorang laki-laki yang tidak terlalu tampan. Bisa aja orang kayak aku gini nantinya bakal dapat cewek kayak putri cantik di film-film Disney gitu kan. Ya, walaupun bisa juga sih bakal dapat cewek kayak nenek lampir lupa sisiran. Tapi kan, kemungkinan itu selalu ada.

Namun masalahnya, kehidupanku jika dibandingkan dengan temen-temen cowokku yang lain di SMP sangatlah berbeda. Mereka sangat gampang mendapatkan pacar, sedangkan aku harus bersusah payah untuk berkenalan doang. Tahap mereka untuk mendapatkan pacar itu kira-kira seperti ini : ngeliat cewek cakep-kenalan-PDKT-nembak-jadian. Sedangkan aku : ngeliat cewek cakep-kenalan-dia ngeliat penampilan aku kayak gembel-dia pingsan-dibawa ke UKS-dia harus diopname tiga minggu.

Jam istirahat adalah saat-saat yang tepat untuk berburu cewek idaman. Setiap aku berjalan ke kantin, aku selalu menemukan beraneka ragam species cewek dengan berbagai penampilan. Ada cewek alim dengan jilbab putih panjang dan kalo jalan suka nunduk. Cewek model begini lebih sering fokus ke pendidikannya, dan gak pernah mau kalo diajak pacaran.

Ada juga cewek seksi dengan rambut terurai panjang, rok mini ketat di atas dengkul, dan kancing baju yang sedikit terbuka di bagian dada. Cewek kayak gini biasanya adalah orang yang kehidupannya super gaul, dan kalo lagi istirahat suka ngumpul sama cewek-cewek gaul lainnya dan bikin geng. Cewek begini kalo berkelahi, paling banter jambak-jambakan rambut doang.

Bahkan aku kadang ngeliat ada cewek gemuk, berkulit hitam, berhidung pesek, berambut keriting dan berwajah seram. Aku yakin mungkin ini hasil persilangan antara manusia dengan genderuwo.

Selama pencarian, aku tetap tidak menemukan satu cewek pun yang bikin hatiku tertambat. Memang, mencari cewek gak semudah mencari remot tipi yang hilang. Niatku mencari cewek dari jalan berburu pada jam istirahat, kuurungkan begitu saja.
 
***
Sudah hampir setahun aku mengikuti les komputer rutin di Global Education Center yang ada di Bagansiapiapi. Lembaga pendidikan komputer dan bahasa inggris itu gak pernah sepi untuk menerima murid baru.

Setiap hari senin, rabu, dan jumat, aku selalu datang pukul dua siang diantar oleh papaku. Teman-temanku yang lain juga banyak yang ikut les komputer di sana. Di kelas kami ada sekitar 15 orang yang mengikuti les komputer. Kelas yang dicat putih dan ber-AC tersebut, cukup nyaman menemani hari-hariku selama belajar komputer di sana.

Di kelas, aku berteman dekat dengan Kamal, seorang cowok chinese pendek, berkulit sawo matang, dan bermata sipit. Dia sudah SMP, sama kayak aku. Saat les, dia duduk pas di samping aku. Tapi sayang, otaknya sedikit gesrek, mungkin akibat terlalu banyak mengkonsumsi ajinomoto.

“Hari ini kita belajar MiRC ya,” kata Miss Lisa dengan suara lembut. Pembawaannya yang santai dan ramah, membuat kami semua gak pernah bosan diajarin sama dia. Rambutnya yang panjang dan kadang dikuncir semakin menambah pesona kecantikannya. Di mataku, Miss Lisa adalah sosok pengajar yang baik. Tapi di matanya, aku mungkin cuma terlihat seperti kecebong hanyut.

“Baik Miss!” jawab kami semua dengan lantang.

Miss Lisa pun menjelaskan cara menggunakan MiRC, sebuah aplikasi chatting yang bisa menemukan orang-orang di sekitar kita dan mengajak mereka untuk chatting. Memang sih, waktu itu jamannya udah ada Facebook, Twitter, dan sebagainya, tapi yang masih pake MiRC untuk chatting juga banyak.

“Nah, kalo udah ketemu gini, kalian tinggal klik ‘Join’ dan kalian bisa langsung chatting sama dia,” Miss Lisa menjelaskan kepada semua murid. “Sampai di sini udah paham?”

“Paham, Miss!” jawab kami semua.

Aku diem dan mikir : ah, gampang juga.

“Maaf, Miss, saya mau nanya.” terdengar suara Kamal yang serak-serak basah, sama seperti orang keselek air aki.

“Iya? ada apa Kamal?”

“Cara ngidupin monitor gimana ya?”

Seisi kelas tertawa. Miss Lisa cuma bisa senyum. Aku mau lempar kepalanya Kamal pake CPU.

“Yaudah sekarang coba kalian praktekin di komputer kalian masing-masing.” Miss Lisa berdiri dari kursinya dan mempersilahkan Cyntia, temen lesku yang lain untuk mencoba MiRC.

Aku pun menuju ke komputerku yang ada di pojok kelas. Bagiku, chatting dengan aplikasi apapun gak ada masalah, selama pesannya nyampe ke orang yang kita ajak chatting. Kunci dari berkomunikasi ditentukan dari seberapa paham orang yang lagi kita ajak bicara.

“Aplikasi ini bisa di pake untuk chatting dengan orang yang bahkan belum kita kenal, kalian bisa ajak dia kenalan dan kalian bisa dapet teman baru deh.” kata Miss Lisa.

Tiba-tiba aku teringat kembali dengan niatku untuk mendapatkan pasangan. Maka muncullah ide brilian untuk mencari cewek baru dengan jalur MiRC ini. Aku berharap dengan aplikasi ini mungkin aku bisa ajak cewek kenalan, terus kuajak ketemuan dan langsung nembak deh. Setelah ini, masa-masa kejombloanku akan berakhir, dan hidupku akan tenang dan bahagia.

Dengan cepat aku membuka aplikasi MiRC di komputer dan mulai mencari siapa orang yang kira-kira berpotensi untuk bisa kuajak kenalan.

“Kau pake nickname apa, mal?” tanyaku kepada Kamal yang tengah asyik dengan komputernya.

“Hmm... apa ya?” Kamal kebingungan sambil meletakkan telunjuknya di dagu. “Kalo aku pake nama sendiri, keren gak ya?”

“Keren sih.”

Kamal pun mulai mengetik nicknamenya di komputer, memainkan jari-jarinya di tuts keyboard. Pas kuliat di layar monitornya tertulis : Kamal_ganteng. Aku gak yakin ada orang yang mau chatting dengan orang yang punya nickname seperti ini.

Nickname yang aku pake haruslah keren, biar kesannya menggambarkan kalo aku ini ganteng, penuh kharisma, dan populer di sekolah. Maka aku pun gak menggunakan namaku yang asli sebagai nickname. Aku mengganti nicknameku dengan : Joe_dragon. Nickname yang cukup keren.

Karena di MiRC kita gak bisa ngeliat foto orang yang mau kita ajak chatting, aku pun mencari nama-nama cewek yang kira-kira pas untuk di ajak kenalan. Saat itu, aku berpikir kalau kecantikan seorang cewek itu bisa dinilai dari namanya. Kalo ada cewek namanya Annisa kemungkinan dia adalah cewek kalem yang religius dan senang bergaul sama teman-temannya. Kalo ada cewek yang namanya Laura, biasanya dia adalah cewek cantik yang gak pernah keluar rumah, dan bapaknya galak. Kalo ada cewek yang namanya Surti, biasanya dia adalah pembantu.

Aku mulai scroll layar MiRC sambil mencari nama. Ada banyak nickname yang muncul kayak Ayu_Imoetzz43, Bambang_yangtakpernahbimbang, JualObatKuat, sampai yang aneh seperti Kinder_Joy. Ini orang apa cemilan?

Aku akhirnya menemukan sebuah nama, Linda_Sulistya01. Nama Linda terdengar seperti cewek ABG yang pembawaannya dewasa, cerdas, dan kalo ngomong sama siapa saja bisa nyambung.

Dengan hasrat birahi yang tinggi untuk menumpas kejombloan, aku langsung memulai chatting dengan Linda_Sulistya01. Kira-kira seperti ini isi chattingannya :

Joe_dragon         : Halo!
Linda_Sulistya01 : Halo juga
Joe_dragon         : Boleh kenalan gak? Nama kamu siapa?
Linda_Sulistya01    : Hmm... boleh. Nama aku Linda Sulistya. Kalo nama kamu siapa?
Joe_dragon         : Namaku asliku Bagus Dwi Saputra. Kamu udah punya pacar belum?
Linda_Sulistya01 : Aku gak punya pacar.
Joe_ganterng         : Berarti kamu jomblo?
Linda_Sulistya01 : Aku punya suami.
 
Langsung kututup chat room tersebut.

Ngajak orang kenalan di MiRC ternyata gak segampang yang kukira, mengingat pengguna MiRC cukup banyak, dari berbagai belahan dunia, dan dari segala usia. Aku harus berhati-hati agar gak salah dalam memilih orang.

Aku melanjutkan pencarian teman chatting. Aku pun menemukan sebuah nama lain, AnaDerita. Nama yang terdengar cukup misterius dan membuatku penasaran. Tanpa basa basi, aku langsung membuka room dengan dia untuk memulai sesi chatting baru. Aku lalu mengetik, “Hai!”

Dan sesi chatting pun berlangsung.
 
Joe_dragon : Hai
AnaDerita : Hai juga!
Joe_dragon : Boleh kenalan gak? Nama asli kamu siapa?
AnaDerita : Namaku Diana. Kalo nama kamu siapa?
Joe_dragon : Nama aku Bagus Dwi Saputra.
AnaDerita : Hmm... aku boleh tau akun Facebook kamu gak? Biar tau mukanya.
Joe_dragon : Oke boleh.

Tanpa ragu, aku kemudian memberitahu akun Facebookku sama dia. Nama Diana menjelaskan kalo dia adalah seorang cewek yang rajin dan sering membantu orang tua. Kalo aku bisa ajak dia kenalan dan ketemuan, mungkin aku bisa mendapatkan pacar baru.

Pesan yang aku kirim dibalas Diana beberapa detik kemudian, “Udah aku add ya, kamu konfirm dong, kali aja bisa ketemuan.”

Anjay, dia ngajak ketemuan. Kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.

Aku pun membuka Facebookku dan menemukan ada notifikasi teman baru. Kuliat ada nama Ana Derita dengan foto profil yang tidak begitu jelas, cewek berambut panjang dengan dress pink dan senyum tipis. Telunjuk kanannya nancep di bibir seperti foto-foto alay kebanyakan. Tanpa berpikir panjang, langsung aja kukonfirmasi pertemanan dengan dia.

Rasa penasaranku tentang sosok Diana semakin menggebu-gebu. Aku membuka profil Facebooknya dan kuliat dengan seksama.  Awalnya sih, aku liat dari foto profilnya dulu. Diana ternyata tak jauh dari yang kubayangkan. Dia putih, cantik dan anggun, cuma alay dikit. Dan ternyata dia udah lebih dewasa dari aku. Naluri kepoku yang sudah terlatih membuat aku gak bisa berhenti untuk pengen tau lebih dalam tentang dia.

Aku melihat setiap postingannya dari yang masih baru sampai ke bawah. Tapi semakin aku scroll ke bawah, semakin ada yang terasa janggal. Aku menemukan banyak foto dia telanjang di tempat tidur, tapi aku juga ngeliat tekstur kakinya sedikit kasar. Aku langsung punya firasat buruk. 

Joe_dragon : Kamu ini sebenarnya siapa sih?
AnaDerita : Eh, kamu kalo diliat-liat ganteng juga ya. Aku ini waria lho.
 
Aku terkejut. Bisa-bisanya ada orang yang bilang aku ganteng. Eh, bukan itu. Maksudnya, kok bisa-bisanya aku chattingan sama waria?
 
Joe_dragon : HA? KAMU WARIA?? KOK CAKEP???
AnaDerita : Iya dong. Kamu mau aku isepin gak?
 
Aku panik. Aku bergidik ngeri. Seketika keringat dingin mulai keluar di sekujur tubuh. Dia mau ngisep aku. Sampai detik ini aku berpikiran kalo dia itu bukan manusia, melainkan lintah yang bisa ngetik. Harapanku untuk punya pacar bernama Diana dihancurkan oleh kenyataan yang pahit.

Aku ngeliat sekeliling murid-murid sedang asyik chatting di komputernya masing-masing, sementara aku bingung bagaimana harus melanjutkan pembicaraan dengan teman baru seorang waria penghisap. Aku berharap Miss Lisa gak ke tempatku sekarang, dan membaca isi chattingan yang begitu biadab ini. Kalo sampe dia baca, bisa-bisa aku dikeluarkan dari les komputer ini.

Joe_dragon    : Ha? Isepin? Apanya yang mau kamu isepin?
AnaDerita      : Ah, kamu, masa gak tau sih? Ya itu mu lah.
Joe_dragon    : GAK! AKU GAK MAOO, AKU MASIH SMP!! PUNYAKU MASIH KECIL!! UDAH YAAA!! BYE!!
AnaDerita      : Eh tunggu-tunggu, aku kalo ngisepin jago lho, ampe muncrat gitu, kayak air mancur. Udah banyak orang yang aku isep. Masa kamu gak mau?
Joe_dragon    : YA MASA AKU MAU BANG?!
 
Pantesan nicknamenya AnaDerita, semakin kita mengenal dia, semakin kita menderita. Aku gak mau terjerumus dalam dunia isep mengisep ini, masa depanku masih panjang. Aku ngebayangin ini kayak cerita-cerita drakula, dimana korban digigit oleh drakula dan kemudian mereka jadi vampir. Nanti bisa-bisa pas aku abis diisep sama bang Diana ini, aku langsung mendadak ngondek.

Cepat-cepat kututup chat room dan aplikasi MiRC. Kubuka Facebook dan menghapus pertemanan dengan Ana Derita. Keringat dingin membasahi mouse yang kupegang di atas meja.

“Oke, murid-murid, kelas hari ini cukup sampai disini aja ya,” kata Miss Lisa mengakhiri kelas sore itu. “Kalian boleh pulang.”

Kelas pun berakhir, aku pulang kerumah. Dalam perjalanan pulang, di kepalaku masih terbayang tentang Ana Derita, cowok yang kerjanya ngisep. Aku gak mau lagi mencari pacar dengan cara seperti ini.

***

Aplikasi MiRC udah gak pernah kusentuh lagi, bahkan sampai sekarang. Hari-hariku kembali dilewati sebagai jomblo culun seperti biasanya. Aku udah malas mencari cewek. Aku gak mau lagi berspekulasi ini itu tentang cewek. Aku juga gak mau menganalisa cewek hanya dari namanya doang, karena itu goblok. Banget.

Lebih baik jomblo daripada homo. Lebih baik gak punya pacar daripada pacaran sama orang yang gak jelas. Biarlah waktu yang menjawab siapa jodohku sebenarnya. Aku berharap tidak bertemu dengan orang yang kuajak chatting di MiRC kemaren.

Aku juga masih mengikuti les sore seperti biasanya. Setiap kali aku membuka komputer di meja dan melihat icon MiRC di desktop, kadang aku masih terbayang tragedi chatting waktu itu.

“Kau kenapa, gus?” tanya Kamal, melihatku yang sedang bengong.

“Gak. Aku gak papa kok.”

“Ooh,” kata dia. “Eh, aku dapat kenalan dong.”

“Kenalan dimana?” tanyaku.

“MiRC lah.”

“Siapa namanya?”

“Diana.”

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

 "Papa pengen deh punya rumah yang halamannya luas, ada kebunnya, bisa nanem macam-macam, terus ada ternak sendiri."

Siang itu, aku seperti biasa lagi di rumahku di Jogjakarta dan bengong ga ada kerjaan. Karena lagi bengong, aku memutuskan untuk menelpon orangtua yang masih berada di Riau. Tanpa basa-basi, langsung kuambil handphoneku yang tergeletak di atas kasur, lalu kutelpon orangtuaku. Aku menunggu telepon dijawab, dan akhirnya diangkat oleh Papaku. Aku memulai dengan menanyai kabar seperti biasa, lalu kulanjutkan dengan basa-basi singkat. Pembicaraan makin lama makin intens sampai kepada beliau membicarakan sesuatu yang sudah lama diinginkannya.

Sepanjang Papa ngomong aku cuma bisa mendengarkan sambil berpikir : bisa gak yah aku mewujudkan keinginannya? Kayaknya susah deh. 

Semakin hari umur orangtuaku semakin bertambah tua. Itu bisa diliat dari fisik mereka yang semakin keriput. Namun di sisi lain, aku masih belum bisa mewujudkan keinginan beliau, karena aku belum mendapatkan pekerjaan yang cocok, ditambah lagi dengan situasi Pandemi Covid-19 yang belum menemukan titik akhir. 

"Pengen deh Bagus ngewujudin keinginan Papa," Aku berkata pelan.

"Iya, gapapa. Sabar aja, semua pasti akan ada waktunya."

Aku mendengus.

Memang sekarang saatnya aku yang harus memberikan apa yang orangtuaku inginkan. Selama ini, orangtuaku selalu memberikan segalanya untukku. Uang bulanan tak pernah lupa mereka kirim untukku. Aku pun gak tau seberapa besar usaha yang mereka tempuh untuk membiayai perkuliahanku. Setiap aku menanyai kabar, mereka selalu menjawabnya dengan, "Kami baik-baik aja kok. Alhamdulillah gak ada masalah apa-apa."

Padahal bisa aja mereka menutupi kesulitan mereka hanya untuk membuatku gak berpikiran yang macem-macem.

"Kau tau metamorfosis?" Papa bertanya lirih.

Betewe, papaku ini guru biologi SMP loh ya, jadi wajar aja kalo dia nanya soal metamorfosis. Kalo papaku petani mungkin nanyanya lain. "Kau tau traktor? Papa lindes pake itu mau?"

"Tau pa," jawabku. "Yang kupu-kupu itu kan?"

"Haaa...," dia membenarkan. "Tau gak sebelum jadi kupu-kupu dia ngapain?"

"Umm.. jadi ulat pa." 

Ini aku mau dites jadi guru biologi apa gimana nih? Kalaupun iya, satu-satunya materi biologi yang paling aku kuasai cuma Sistem Reproduksi Pada Manusia. Masa iya bahan ajarku 3 tahun cuma itu doang?

"Naah...," katanya. "Semua kupu-kupu yang indah pasti berawal dari ulat, yang jelek, jijik, dan geli. Waktu mereka masih jadi ulat, gak ada yang peduli, ga ada yang mau bertemen sama mereka. Tapi semua ulat yakin suatu saat nanti pasti akan berubah menjadi seekor kupu-kupu. Jadi, mereka nikmatin aja prosesnya dengan enjoy."

Bener juga ya, lagian aku juga gak pernah tuh liat ulat insecure sama kondisi fisiknya, atau ulat dibodyshamming sama temen-temennya yang udah jadi kupu-kupu duluan, "JIAH! HARI GINI MASIH AJA JADI ULAT LOE? JELEK AMAT." Terus teman kupu-kupunya yang lain nyaut, "Iya nih, gausah temenin dia yuk, jijik." Kan engga dong.

Eh tapi aku pernah liat ulat dimasak trus dimakan sama manusia. Wadaw.

"Jadi anggap aja sekarang ini kau masih jadi ulat, nanti lama-lama bakal jadi kupu-kupu juga kok, jadi nikmatin aja prosesnya. Sabar."

"Iya, pa." aku mengiyakan, mempersingkat topik.

Sebagai orang yang paranoid, sebenernya aku selalu memikirkan semua kemungkinan terburuk dari keputusan-keputusan yang akan aku ambil. Aku tau ini salah dan gak seharusnya dilakukan, tapi aku tuh gabisa lepas dari yang namanya overthinking. Mungkin karena selama ini, ketika aku mengambil sebuah keputusan, selalu saja berujung pada masalah. Kalo gak mikirin apa-apa selalu aja berakhir buruk, tapi kalo mikirin kemungkinan terburuk pasti malah gak terjadi apa-apa. Kalian ada yang gitu juga gak?

Jadi ketika papa bilang semua ulat pasti jadi kupu-kupu, di kepalaku lain bunyinya. Bisa aja pas jadi kepompong dia jatuh ke got, atau mati ditabrak truk. Belum jadi kupu-kupu dia udah mati duluan.

Tapi gak tau deh. Mari kita coba aja dulu.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

About me



Bagus namanya, tapi tidak dengan orangnya. Walaupun begitu, dia yakin namanya adalah doa. Iya, doa yang gak terkabul.

Categories

  • KADANG SERIUS
  • MY MIND
  • MY STORY
  • PROSA

Created with by ThemeXpose