Metamorfosis

by - September 02, 2020

 "Papa pengen deh punya rumah yang halamannya luas, ada kebunnya, bisa nanem macam-macam, terus ada ternak sendiri."

Siang itu, aku seperti biasa lagi di rumahku di Jogjakarta dan bengong ga ada kerjaan. Karena lagi bengong, aku memutuskan untuk menelpon orangtua yang masih berada di Riau. Tanpa basa-basi, langsung kuambil handphoneku yang tergeletak di atas kasur, lalu kutelpon orangtuaku. Aku menunggu telepon dijawab, dan akhirnya diangkat oleh Papaku. Aku memulai dengan menanyai kabar seperti biasa, lalu kulanjutkan dengan basa-basi singkat. Pembicaraan makin lama makin intens sampai kepada beliau membicarakan sesuatu yang sudah lama diinginkannya.

Sepanjang Papa ngomong aku cuma bisa mendengarkan sambil berpikir : bisa gak yah aku mewujudkan keinginannya? Kayaknya susah deh. 

Semakin hari umur orangtuaku semakin bertambah tua. Itu bisa diliat dari fisik mereka yang semakin keriput. Namun di sisi lain, aku masih belum bisa mewujudkan keinginan beliau, karena aku belum mendapatkan pekerjaan yang cocok, ditambah lagi dengan situasi Pandemi Covid-19 yang belum menemukan titik akhir. 

"Pengen deh Bagus ngewujudin keinginan Papa," Aku berkata pelan.

"Iya, gapapa. Sabar aja, semua pasti akan ada waktunya."

Aku mendengus.

Memang sekarang saatnya aku yang harus memberikan apa yang orangtuaku inginkan. Selama ini, orangtuaku selalu memberikan segalanya untukku. Uang bulanan tak pernah lupa mereka kirim untukku. Aku pun gak tau seberapa besar usaha yang mereka tempuh untuk membiayai perkuliahanku. Setiap aku menanyai kabar, mereka selalu menjawabnya dengan, "Kami baik-baik aja kok. Alhamdulillah gak ada masalah apa-apa."

Padahal bisa aja mereka menutupi kesulitan mereka hanya untuk membuatku gak berpikiran yang macem-macem.

"Kau tau metamorfosis?" Papa bertanya lirih.

Betewe, papaku ini guru biologi SMP loh ya, jadi wajar aja kalo dia nanya soal metamorfosis. Kalo papaku petani mungkin nanyanya lain. "Kau tau traktor? Papa lindes pake itu mau?"

"Tau pa," jawabku. "Yang kupu-kupu itu kan?"

"Haaa...," dia membenarkan. "Tau gak sebelum jadi kupu-kupu dia ngapain?"

"Umm.. jadi ulat pa." 

Ini aku mau dites jadi guru biologi apa gimana nih? Kalaupun iya, satu-satunya materi biologi yang paling aku kuasai cuma Sistem Reproduksi Pada Manusia. Masa iya bahan ajarku 3 tahun cuma itu doang?

"Naah...," katanya. "Semua kupu-kupu yang indah pasti berawal dari ulat, yang jelek, jijik, dan geli. Waktu mereka masih jadi ulat, gak ada yang peduli, ga ada yang mau bertemen sama mereka. Tapi semua ulat yakin suatu saat nanti pasti akan berubah menjadi seekor kupu-kupu. Jadi, mereka nikmatin aja prosesnya dengan enjoy."

Bener juga ya, lagian aku juga gak pernah tuh liat ulat insecure sama kondisi fisiknya, atau ulat dibodyshamming sama temen-temennya yang udah jadi kupu-kupu duluan, "JIAH! HARI GINI MASIH AJA JADI ULAT LOE? JELEK AMAT." Terus teman kupu-kupunya yang lain nyaut, "Iya nih, gausah temenin dia yuk, jijik." Kan engga dong.

Eh tapi aku pernah liat ulat dimasak trus dimakan sama manusia. Wadaw.

"Jadi anggap aja sekarang ini kau masih jadi ulat, nanti lama-lama bakal jadi kupu-kupu juga kok, jadi nikmatin aja prosesnya. Sabar."

"Iya, pa." aku mengiyakan, mempersingkat topik.

Sebagai orang yang paranoid, sebenernya aku selalu memikirkan semua kemungkinan terburuk dari keputusan-keputusan yang akan aku ambil. Aku tau ini salah dan gak seharusnya dilakukan, tapi aku tuh gabisa lepas dari yang namanya overthinking. Mungkin karena selama ini, ketika aku mengambil sebuah keputusan, selalu saja berujung pada masalah. Kalo gak mikirin apa-apa selalu aja berakhir buruk, tapi kalo mikirin kemungkinan terburuk pasti malah gak terjadi apa-apa. Kalian ada yang gitu juga gak?

Jadi ketika papa bilang semua ulat pasti jadi kupu-kupu, di kepalaku lain bunyinya. Bisa aja pas jadi kepompong dia jatuh ke got, atau mati ditabrak truk. Belum jadi kupu-kupu dia udah mati duluan.

Tapi gak tau deh. Mari kita coba aja dulu.

You May Also Like

0 comments