UNTUNG SAJA TIDAK TERBAKAR

by - April 18, 2022

Aku sedang berinternet ria di depan laboratorium komputer, ketika Robby, temanku, datang dan mengganggu fokusku. Siang itu, guru yang seharusnya mengajar di kelasku sedang berhalangan hadir. Berita baik ini langsung kusambut dengan memutuskan untuk nongkrong sambil menikmati koneksi internet sekolah yang lancar. Terlihat teman-teman yang lain sibuk dengan laptop masing-masing. Suasana begitu damai.

“Gus?,” kata Robby sambil menepuk pundakku.

Aku yang pada saat itu sedang fokus dengan laptop hanya menjawab acuh. “Apa, bi?”

“Kita ikut lomba, yuk?”

“Lomba apa?” sahutku, sambil tetap mengarahkan pandangan ke layar monitor.

“Atraksi Kimia,” jawab Robby.  

Sejujurnya, aku adalah tipikal orang yang pesimis. Setiap ada lomba apapun itu, aku pasti mengurungkan niat untuk mengikuti perlombaan tersebut. Mungkin karena aku udah bosan, setiap kali mengikuti lomba pasti ujung-ujungnya gagal. Ditambah lagi, aku merasa diriku tidak memiliki kelebihan di bidang apapun, jadi aku yakin kalo ikut lomba pasti gak akan menang. Ya, boleh dibilang kalo aku sudah bosan untuk kecewa di akhir. Makanya, untuk mengikuti lomba-lomba yang diadakan di SMA, aku udah nyerah duluan. Dan lagi, kimia. Kimia adalah salah satu mata pelajaran yang tidak terlalu kusukai, aku juga gak jago di pelajaran tersebut. Hal yang aku bisa dari kimia paling cuma nuangin air putih ke adem sari pas lagi panas dalam.

Aku menatap Robby yang masih berdiri, mencoba untuk meyakinkan dia kalo aku mengurungkan diri mengikuti lomba apapun. 

“Gak, ah, bi. Aku ga berbakat ikut lomba,” kataku, mencoba meyakinkan Robby. “Lagian kenapa kau milih aku? Teman-teman yang lebih pinter kan banyak.”

“Gini,” Robby merangkulku dan memasang muka serius. “Kau udah pernah bikin prestasi di sekolah belum?”

Aku menggelengkan kepala. “Belum.”

“Nah, aku juga sama, nih.” kata Robby. “Kau mau gak, nama kau nanti ada di deretan prestasi BT (Buku Tahunan)?”

“Hmm..... pengennya gitu sih, soalnya aku belum bikin prestasi apapun, kan.” Aku berkata bingung. “Tapi–” 

“Udahlah, kau mau ikut atau nggak nih? Kalo nggak aku ajak yang lain aja nih.”

Ada hening yang cukup panjang sebelum akhirnya aku mengatakan, “Oke deh, aku ikut.”

Karena diiming-imingi oleh namaku yang akan tercantum di daftar prestasi Buku Tahunan SMA, dengan gampangnya aku menyetujui ajakan Robby untuk ikut lomba atraksi kimia tersebut. Biasanya, aku gak pernah mau kalo disuruh untuk ikut lomba kayak beginian. Tapi kali ini beda. aku berpikir kalo suatu saat nanti namaku terpampang di salah satu halaman buku tahunan sepertinya keren juga. Alasannya, biar aku bisa bangga dan bilang ke cucuku kelak, “Nih, kakek dulu pernah ikut lomba atraksi kimia di SMA dan jadi juara dong!”

“Sebenarnya sih, ada banyak perlombaan yang diadakan oleh UNRI (Universitas Riau) waktu itu, kayak cerdas cermat, tes tertulis, atraksi kimia, pantun kimia, dan masih banyak lagi. Aku dan Robby memilih untuk mengikuti lomba atraksi kimia. Selain gak terlalu menguras otak buat berpikir, lombanya juga cukup seru dan menarik untuk diikuti.

"Ya udah, nanti kita pikir sama-sama apa yang mau kita tampilkan.” kata Robby.

Dia lalu pergi meninggalkanku sendirian. Ketika bel pelajaran selanjutnya berbunyi, aku menuju kelas.

Berhari-hari aku dan Robby mencari bahan untuk penampilan atraksi kimia kami nanti, dengan browsing internet dan nanya ke temen gimana sistematika lombanya. Kebetulan, ada temen kami yang pernah ikut lomba atraksi kimia tahun lalu dan mereka mendapat juara dua. Siapa tahu, tahun ini aku dan Robby bisa melanjutkan gelar juara mereka.

Rupanya ada beberapa ketentuan dalam perlombaan itu, salah satunya gak boleh menggunakan bahan kimia yang berbahaya, dan kalo bisa gak usah pake bahan kimia, cukup bahan sehari-hari dan mudah ditemui aja asal bisa dipake. Untung aku sempat baca peraturan ini, kalo enggak, bisa jadi aku menggunakan nuklir sebagai salah satu bahan atraksi kimia kami nanti.

Halangan  pun mulai berdatangan. Pertama-tama, halangannya tentu saja datang dari atraksi apa yang pengen aku dan Robby bawakan. Aku bingung, Robby bingung, ditengah-tengahnya Pulau Jawa (lho?). Kami sama-sama bingung tentang apa yang mau kami atraksikan.

Akhirnya, setelah mencari dari berbagai sumber, beberapa atraksi kimia pun kami pilih dan kami coba untuk melakukan latihan kecil-kecilan di laboratorium kimia sambil dibimbing oleh Bu Nur, guru Kimia kami. Aku dan Robby bersepakat untuk melakukan beberapa eksperimen kimia yang menurut kami menarik, kayak membuat lilin bisa menyerap air, kembang api yang bisa hidup di dalam air, etanol membeku seketika, dan percobaan asap yang keluar dari aluminium foil. Kedengarannya emang keren, tapi pelaksanaannya gak sekeren itu.

Setiap hari selama seminggu, aku dan Robby harus merelakan jam pelajaran di kelas untuk nongkrong di laboratorium kimia setelah selesai Try Out. Kebetulan, waktu itu kami sedang mengadakan Try Out selama 4 hari.

Untuk atraksi pertama kami, Robby menggunakan kembang api dan korek yang dikirim orangtuanya yang ada di Pekanbaru. Jumlah kembang api yang dibeli pada saat itu lumayan banyak, begitu juga dengan jumlah koreknya, bisa buat bikin toko kembang api di sekolah.

Kami pun mencoba untuk menghidupkan kembang api di dalam air. Mula-mula, Robby menutup kembang api dengan plastik dan direkatkan dengan label perekat. Seperti biasa, aku hanya menatap tangannya yang lincah dalam memainkan plastik dan kembang api tersebut tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Nah, gus, bakar kembang apinya sekarang.” kata Robby sambil menunjukkan kembang api yang sudah ditutupinya dengan plastik.

Aku menyalakan korek, lalu kuarahkan ke kembang apinya. Kembang api pun hidup dan Robby langsung mencelupkannya ke dalam air. Pada percobaan pertama emang gak berhasil, tapi setelah dicoba beberapa kali, barulah kembang api bisa hidup menyala di dalam air. Aku, yang gak tau apa-apa pada saat itu cuma bisa bilang, “Keren!”

“Oke, sekarang udah beres, nih.”

“Cuma satu?”

“Ya, enggaklah, bego.” kata dia, sewot. “Kita cari yang lain.”

Aku mengangguk. “Terus? Kembang api sisanya kita apain?”

“Udah, kita biarin aja disini dulu.”

Aku pun meletakkan kembang api di dalam laboratorium kimia. Latihan demi latihan kami coba lakukan agar semuanya berjalan sempurna ketika lomba nanti. Ada beberapa eksperimen lain yang kami lakukan pada saat itu, kayak merubah warna dengan asam dan basa, dan membekukan air dengan garam (Konsep Koligatif Larutan). Tapi, kami memutuskan untuk menghapusnya dari set karena setelah kami coba berulang-ulang, kedua eksperimen tersebut tak kunjung membuahkan hasil. Kami pun pulang ketika apel siang selesai.

Besoknya, aku dan Robby datang kembali ke laboratorium kimia. Niatnya sih, pengen mencoba lagi atraksi menghidupkan kembang api di dalam air. Tapi plastik berisi kembang api bejibun berikut koreknya gak ada di dalam laboratorium kimia.

“Bi, kembang apinya mana?”

Robby mengangkat bahu. “Entah. Emang kau taruh di mana kemaren?”

“Gak tau. Kan ada di meja kemaren.”

“Iya, yah. Coba tanya ke Bu Nur.”

Robby pun bertanya kepada Bu Nur dimanakah gerangan kembang api itu berada. Bu Nur bilang kalo kembang apinya ada di luar, dan diletakkan di belakang laboratorium. Robby pun menuju ke lokasi yang disebutkan Bu Nur. Ketika dia kembali ke laboratorium, dia bilang, “Kok cuma koreknya aja yang ada di plastik ini? Kembang apinya kemana, bu?”

“Gak tau, kemaren masih ada kembang apinya di sini.” kata Bu Nur.

Kami panik, kembang apinya hilang!. Hipotesa pertama dari Robby mungkin kembang api itu diambil sama anak-anak sekitar. Hipotesaku : Duh, gimana nih?.

Halangan lain, ketika kami ingin menggunakan gula untuk atraksi kimia selanjutnya (yang tidak masuk ke set), yaitu membuat gula dan abu rokok sebagai lilin, kami kehabisan gula. Karena gak ada uang, aku dan Robby terpaksa ngutang gula ke kantin. Muka melasku yang memang sudah setelan pabrik cukup membuat simpatik ibu kantin yang pada saat itu akhirnya mengabulkan permintaan kami untuk utang gula.

Di hari terakhir sebelum perlombaan, kami melakukan latihan eksperimen membekukan etanol dan kalsium asetat menjadi gel. Saat gel itu dibakar di cawan penguap, apinya hidup, lalu selang beberapa detik langsung aku matikan. Setelah dimatikan, dengan sigap kuambil cawan penguap tersebut, terus aku teriak, “AH! PANASS BANGET!” 

Dengan muka jumawa, Robby bilang, “Bego kau. Ngapain cawan yang masih panas kau pegang pake tangan, goblok.”

Alih-alih jari tengah kiriku jadi korbannya. Jariku mengalami luka bakar yang lumayan parah. Bu Atik, yang ketika itu juga membimbing kami, menyuruhku untuk mengambil lidah buaya di rumahnya. Aku lalu mengambil setangkai lidah buaya dan mengoleskannya ke bagian yang mengalami luka bakar. Rasanya perih banget. Sama kayak melihat dia update instastory sampai titik-titik, namun chat kita dari dua minggu yang lalu masih belum juga dibalas. Eh, maaf, jadi curcol.

Ketika hari perlombaan tiba, kami menuju ke tempat perlombaan yang berlokasi di sebelah Balai Bahasa Universitas Riau. Hari itu cukup ramai, terlihat anak-anak dari sekolah lain yang datang ke lokasi. Aku dan Robby melakukan konfirmasi peserta. Kami berada di urutan ke sebelas dari sebelas peserta. Itu artinya, aku dan Robby akan tampil terakhir. Karena penampilan kami masih lama, aku dan Robby memutuskan untuk melakukan latihan kecil-kecilan di masjid terdekat sebelum penampilan kami nanti.

Setibanya di masjid, aku bersepakat dengan Robby untuk melakukan latihan atraksi yang resiko gagalnya paling berat, yaitu menghidupkan kembang api di dalam air. Dan, beneran, pada percobaan pertama, apinya langsung mati. Pada percobaan selanjutnya, apinya juga mati. Pada percobaan terakhir, aku yang mau mati.

“Duh, gimana nih, bi? Apinya mati.” kataku, panik.

Sambil menutup kembang api ketujuh dengan plastik, Robby bilang, “Santai aja, nanti juga bisa kok.”

Kami mencoba terus hingga kembang api yang tersisa tinggal dua batang. Setelah 2 jam, aku dan Robby akhirnya menyerah.

“Bi, kembang apinya tinggal 2 nih.” kataku, setengah panik.

“Ya udah, aku beli label perekatnya dulu.” jawab Robby, yakin. “Coba kau cek ke lokasinya udah urutan ke berapa.”

“Oke deh.”

Aku dan Robby berjalan beriringan, hingga di persimpangan, Robby berhenti.

“Kenapa, bi?” tanyaku.

“Hmm... ada uang gak, gus?”

Gedubrak.

Setelah memberikan uang lima puluh ribuan ke Robby, aku pun berjalan kaki menuju lokasi perlombaan. Di sana rupanya masih berlangsung penampilan atraksi kimia dari perwakilan SMA aku juga, tapi yang lagi tampil adalah adik kelasku namanya Elvin dan Feby. Mereka tampil sambil berbahasa ocu, bahasa daerah setempat. Aku gak tau pasti apa yang mereka tampilkan karena aku hanya menonton dari luar, tapi yang jelas penonton ketawa dengan penampilan mereka, mungkin karena seru. Aku malah semakin deg-degan karena kembang api percobaan kami belum juga bisa hidup di dalam air.

Aku berjalan kembali lagi ke masjid. Di persimpangan, Robby berjalan kearahku sambil menenteng kertas label dan sampul plastik. Kami pun berjalan beriringan kembali ke masjid. 

“Bi, kau yakin kita bakal berhasil?” kata aku dengan muka menyerah.

“Udah, kau yakin aja kita bakal berhasil nanti,” kata Robby meyakinkan aku. “Percaya aja sama aku.”

Robby dan aku mencoba lagi menghidupkan kembang apinya dengan plastik dan perekat yang baru dibeli Robby. Emang sih, kembang api akhirnya bisa hidup di dalam air, tapi sayangnya cuma sebentar. Bagi aku, itu tetap berarti tidak terjadi apa-apa. Aku panik setengah mati, kembang apinya tinggal satu pula. Robby akhirnya memutuskan untuk menggunakan kembang api terakhir dalam penampilan kami nanti. 

“Udah, kita pake yang ini apapun yang terjadi nanti.” Robby menunjukkan kembang api terakhir yang dia pegang di tangan kanannya.

“Iya deh,” kata aku.

Mendekati waktu tampil, aku dan Robby lalu berjalan menuju ke tempat perlombaan. Sekarang udah di urutan ke sembilan yaitu dari SMA Binsus Dumai. Penonton dengan khusyuk menyaksikan penampilan mereka. Aku mencoba untuk santai dan tidak tegang. Penampilan mereka ditutup dengan tepuk tangan meriah dari penonton. Selanjutnya, urutan ke sepuluh yang aku lupa dari SMA mana, tapi yang jelas mereka cewek semua. Kontur mukanya tidak terlihat menarik. Tak hanya menampilkan atraksi, tapi mereka juga menampilkan kebolehan lain yaitu goyang dumang. Ujung-ujungnya, atraksi yang mereka bawain rupanya cuma satu, cuma heboh di goyang dumang doang. Kalo gitu aku juga bisa, pikirku.  

Dan tibalah di urutan terakhir, ketika nama kami dipanggil oleh pembawa acaranya, aku dan Robby berjalan menuju ke depan panggung dengan mengenakan jas labor, lalu meletakkan kotak yang berisi barang-barang di atas meja yang disediakan. Robby pun membuka pertunjukan dengan mengucapkan, “Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Aku hanya bengong ngeliatin penonton.

Dan, disinilah bencana itu dimulai teman-teman.

Atraksi pertama kami dibuka dengan atraksi etanol dan kalsium asetat yang menjadi gel. Ketika aku menuangkan etanol ke dalam gelas kimia, gel rupanya tidak terbentuk sempurna, masih ada beberapa bagian yang belum menjadi gel. Aku bingung, tapi akhirnya aku mencoba menunjukkan gel yang jadi ke hadapan penonton. Mereka mulai menyimak dengan serius.

"Hadirin sekalian, setelah ini saya akan membakar gel ini dan mari kita liat apa yang akan terjadi," aku mencoba mencairkan situasi ala penjual obat pinggir jalan.

Ketika kubakar gel-nya, apinya malah gak mau mati. Aku coba meniupnya, apinya malah makin gede. Panik, aku langsung mengangkat jas labor sebelah kanan, lalu dengan cepat kututup cawan penguap yang apinya masih menyala.

“Eh, itu kan jas labor?” kata salah satu dari penonton ke aku. “Kok dipake buat matiin apinya?”

“Oh, iya. Sorry, kesalahan teknis,” kataku, mencoba untuk santai. Padahal jantungku hampir copot. Jas labor aku naikkan kembali.

Aku sama Robby terlihat bego waktu itu. Tapi aku yang lebih terlihat bego, mungkin karena mukaku cukup mendukung kali ya. Penonton yang melihat kami mulai panik, takut terjadi apa-apa dengan panggung ini.

“Udah, itu diletakkan di bawah aja,” kata salah satu juri. Robby pun menaruh cawan penguap yang apinya belum mati ke bawah meja. 

Juri yang melihat kami waktu itu mulai memperlihatkan raut muka gak yakin. Aku yang berdiri di depan waktu itu sangat gugup. Suasana mendadak tegang. Rasanya ingin sekali aku langsung melengos pergi meninggalkan ruangan itu.

Bukannya mati, api yang tadi kami hidupkan di cawan penguap malah menjalar ke mana-mana. Di lantai, di meja, bahkan tangan Robby sempat terkena percikan api dari cawan petri yang etanolnya masih ada.

Seorang bapak tua berjenggot maju ke depan, mencoba untuk memadamkan api. Dia mengambil cawan petri yang ada etanolnya, lalu...BRAK! cawan petrinya pecah. Mungkin karena terlalu panas, tangan si bapak nggak kuat, etanol nya tumpah, apinya malah makin gede di lantai.

“Eh, itu deket kakinya!” kata salah seorang penonton cewek.

Robby melihat ke bawah, takut terjadi apa-apa. Api yang ada di lantai menjalar sampai ke dekat kakinya Robby. Dia berusaha mematikan api dengan kakinya. Pembawa acara pun akhirnya maju ke depan dan memberikan kami lap basah untuk mematikan api. Sumpah, waktu itu aku malu banget, apalagi di sana banyak cewek yang ngeliatin aku. Hampir saja aku dan Robby membakar panggung ini.

Tapi, kebodohan belum selesai sampai disitu. Saat aku dan Robby ingin melakukan atraksi selanjutnya, kami baru sadar kalo kami lupa bawa air. Padahal, air di atraksi kedua kami ini sangat penting. 

Terpaksa, tanpa malu-malu, Robby meminta air kepada panitia. Dan panitia memberikan aqua sebanyak 2 gelas. Atraksi dilanjutkan dengan membuat lilin bisa menyerap air. Ketika kami ingin menghidupkan api dengan korek gas, angin mengganggu sehingga apinya cepat mati. Robby mencoba berulang-ulang kali hingga salah satu juri mulai sebel dan berkomentar.

“Udah, pake 2 batang korek aja coba!” kata seorang juri kepada kami dengan tatapan tajam nan sinis.

“I-iya, pak. Santai.” kata aku.

Kami pun mengikuti saran si bapak juri, dan hasilnya : kaga ngaruh.

Bala bantuan akhirnya datang dari salah seorang peserta lomba dari sekolah lain yang menjadi penonton ketika kami tampil. Orangnya agak hitam, dengan rambut yang keriting dan bertubuh pendek. Dia maju dan memberikan kami korek batangan. Bisa dibayangkan betapa malunya aku waktu itu. Penampilan kami saat itu terasa seperti latihan, bahkan lebih buruk.

Penampilan kami akhirnya selesai. Kami langsung pulang kembali ke masjid dan merenungi apa yang baru saja terjadi. Di sepanjang perjalanan, raut muka murung terpancar jelas dari Robby yang sepertinya kesal karena usaha kami kali ini hancur berantakan. Aku mencoba memecahkan keheningan.

“Bi, kau marah ya?

Robby menggeleng. “Nggak kok.”

“Seriusan?”

“Iya, serius.”

“Jadi, kau nggak marah kan sama aku?” tanyaku.

“Ya, enggaklah. Buat apa aku marah sama kau.” kata dia.

"Berarti kita tetap bersama, kan, ya?"

Entah kenapa percakapan kami barusan terdengar seperti percakapan dua orang homo.

“Besok kau mau lihat pengumuman hasil lombanya, gak?”

“Nggak mau.”

Bersamaan dengan itu, awan masih tampak cerah, bergerak perlahan di langit siang menuju senja, seolah tidak terjadi apa-apa hari itu. Kami tetap berjalan menuju masjid, menunggu bis yang akan menjemput. Dan aku,  tentu saja sudah putus harapan.

You May Also Like

0 comments